Syok (circulatory failure) merupakan kegagalan sirkulasi darah yang bersifat umum dan merupakan kumpulan gejala (Pringgoutomo, Himawan, & Tjarta). Syok juga dapat didefinisikan sebagai kegagalan dalam perfusi jaringan tubuh untuk memompa darah, sehingga organ dan sel tubuh kekurangan oksigen dan juga nutrisi (Baue, Faist, & Fry, 2000). Sedangkan menurut Porth (2009), syok terjadi ketika tidak terpenuhinya oksigen dan nutrisi pada organ- organ vital dan sel tubuh karena terjadinya hipoperfusi organ dan jaringan.
Mekanisme terjadinya syok didahului oleh hipoperfusi organ dan jaringan yang disebabkan oleh mekanisme kompensasi. Mekanisme ini terdiri dari saraf simpatis dan sistem perkemihan. Saraf simpatis terdiri dari dua reseptor, yaitu reseptor α dan β. Reseptor α akan menyebabkan vasokonstriksi. Reseptor β terbagi menjadi dua, yaitu reseptor β1 dan reseptor β2. Reseptor β1 akan menyebabkan terjadinya peningkatan konstraksi miokardium, sedangkan reseptor β2 menyebabkan terjadinya vasodilatasi otot dan relaksasi bronkiolus.
Mekanisme kompensasi pada sistem perkemihan terjadi karena adanya peningkatan pelepasan renin yang akan memacu peningkatan angiostein II yang akan memacu hormon aldosteron untuk meningkatkan retensi sodium dan air (Porth, 2009).
Makanisme terjadinya syok pada tingkat seluler berawal dari tidak tercukupinya oksigen yang dibutuhkan oleh sel untuk melakukan metabolisme. Ketika kebutuhan oksigen tidak terpenuhi, asam piruvat yang berasal dari proses glikolisis tidak dapat memasuki tahap siklus krebs, melainkan diubah menjadi asam laktat. Hal tersebut membuat produksi ATP berkurang. Tanpa adanya energi yang cukup, sel tidak dapat berfungsi dengan baik. Pompa membran sodium-potasium akan terganggu dan menyebabkan sodium dapat masuk kedalam sel dan potasium keluar dari sel. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya permeabilitas membran sel dan edema. Aktivitas mitokondria juga terganggu dan membran lisosom akan meluruh sehingga enzim- enzim didalamnya keluar yang akan menyebabkan kerusakan pada lingkungan intrasel. Semua hal tersebut akan mengakibatkan kematian sel. Kerusakan pada membran sel akan mengaktifkan asam arachidonic yang akan memperpanjang kerusakan pada sel.
Menurut Porth (2009), syok dibagi menjadi empat tipe berdasarkan penyebabnya, yaitu cardiogenik shock, hypovolemic shock, distributive shock, dan obstructive shock.
Cardiogenik shock adalah tipe syok yang terjadi arena jantung gagal memompa darah ke seluruh tubuh. Hal ini dapat disebabkan oleh penurunan curah jantung, hipotensi, hipoperfusi, dan indikasi hipoksia. Cardiogenik shock dapat terjadi pada kasus myocardial infaction, operasi pada jantung, dan lainnya. Cardiogenik shock memiliki beberapa gejala, yaitu bibir, kuku, dan kulit yang kebiruan, tekanan darah turun karena terjadi vasokonstriksi arteri, serta menurunnya produksi urin. Cardiogenik shock dapat ditangani dengan memberikan obat- obat vasodilatator, seperti nitroprusside dan nitroglycerin.
Hipovolemic shock adalah tipe syok yang terjadi karena tubuh kekurangan 15%- 20% volume darah karena adanya perdarahan (hemorrage), atau berkurangnya cairan ekstraseluler karena diare. Gejala dari hypovolemic shock diantaranya peningkatan detak jantung, kulit menjadi lembab dan dingin, dan penurunan produksi urin. Penanganan yang dapat dilakukan pada pasien yang terkena hypovolemic shock adalah dengan mengembalikan cairan tubuh dengan memberikan kristaloid, seperti garam isotonik dan Ringer’s lactate, serta mendapatkan donor darah jika kekurangan banyak darah.
Distributive shock terjadi karena kapasitas dan ukuran pembuluh darah yang melebar atau meluas, sehingga volume darah tidak cukup untuk mengisi sistem sirkulasi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penurunan kontrol pada saraf simpatis. Distributive shock terbagi menjadi tiga, yaitu neurogenic shock, anaphylactic shock, dan sepsis shock. Neurogenik shock terjadi karena penurunan kontrol saraf simpatis akibat dari gangguan di pusat vasomotor pada batang otak. Gejalanya adalah detak jantung yang menurun, kulit kering dan hangat. Sementara itu, anaphylactic shock merupakan bentuk dari reaksi alergi yang parah. Gejalanya adalah perut kram, merasakan sensasi kulit terbakar, batuk, sesak napas, dan berbagai reaksi alergi lainnya. Cara menangani anaphylactic shock adalah dengan menghentikan faktor penyebab alerginya. Sedangkan, sepsis shock diakibatkan oleh sepsis, yaitu pemicu infeksi dan respon inflamasi. Gejala yang timbul adalah kulit yang memerah, demam, dan terjadi penurunan leukosit. Penanganan yang dapat diberikan pada penderita sepsis shock dapat berupa pemberian antibiotik, sedangkan untuk menangani respon inflamasinya dapat diberikan obat- obatan vasopressin.
Obstructive shock terjadi karena adanya gangguan mekanis pada aliran darah melalui pembuluh darah besar, jantung, atau paru- paru. Obstructive shock biasanya disebabkan oleh pulmonary embolism, pneumotoraks, myxoma atrium, dan pecahnya hemi diafragma. Gejala yang timbul dapat berupa distensi pada vena jugularis. Penanganan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan operasi, seperti pulmonary embolectomy dan pericardiocentesis.
Komentar
Posting Komentar