BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perspektif
Transkultural dalam Keperawatan
3.1.1 Keperawatan Transkultural dan globalisasi dalam
pelayanan kesehatan
Budaya
dapat didefinisikan sebagai sifat nonfisik, seperti nilai, keyakinan, sikap dan
kebiasaan yang dibagi bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya (Spector, 2000). Budaya juga menentukan
persepsi tentang kesehatan, bagaimana informasi perawatan kesehatan diterima,
bagaimana hak dan perlindungan dilaksanakan, apa yang dianggap sebagai masalah
kesehatan dan bagaimana gejala serta kekhawatiran mengenai masalah kesehatan
diungkapkan, siapa yang harus memberikan pengobatan dan bagaiman, serta jenis
pengobatan apa yang harus dilakukan (Kozier, 2010).
Keperawatan
transkultural didefinisikan oleh Leininger (2002) sebagai penelitian
perbandingan budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan perbedaan
(budaya tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuan keperawatan transkultural
adalah bentuk pelayanan yang sama secara budaya atau pelayanan yang sesuai pada
nilai kehidupan individu dan arti yang sebenarnya. Mengetahui nilai-nilai
pelayanan budaya klien, arti, kepercayaan, dan praktiknya sebagai hubungan
antara perawat dan pelayanan kesehatan mewajibkan perawat untuk menerima aturan
pelajar atau teman sekerja dengan klien dan keluarganya dalam bentuk
karakteristik arti dan keuntungan dalam pelayanan (Leininger, 2002).
Pelayanan
kompeten secara budaya adalah kemampuan perawat menghilangkan perbedaan dalam
pelayanan, bekerja sama dengan budaya yang berbeda, serta membuat klien dan
keluarganya mencapai pelayan yang penuh arti dan suportif. Contohnya, perawat yang mengetahui tentang kebudayaan
kliennya, maka perawat memerlukan dukungan dalam menyesuaikan keadaan klien.
Klien juga membutuhkan informasi, perundingan, dan permintaan.
Kompetensi budaya
adalah proses perkembangan kesadaran budaya, pengetahuan, keterampilan, pertemuan,
dan keinginan. Perawat harus bisa mengintrospeksi tentang latar belakang
dirinya. Perawat juga harus memiliki pengetahuan yang merupakan perbandingan
antar kelompok. Keterampilan budaya termasuk pengkajian social maupun budaya
yang mempengaruhi pengobatan dan perawatan klien. Pertemuan sebagai
mediapembelajaran. Keinginan sebagai motivasi dan komitmen pelayanan.
Konflik budaya juga
dapat muncul dalam proses keperawatan. Konflik budaya yang muncul dapat berupa
etnosentrisme, pemikiran bahwa cara hidup yang dianut lebih baik dibandingkan
dengan budaya lain. Hal ini menyebabkan adanya pilihan untuk mengabaikan budaya
dan menggunakkan nili-nili dan gaya hidup mereka sebagai petunjuk dalam
berhubungan dengan klien dan menafsirkan tingkah laku mereka.
Globalisasi
menyebabkan tuntutan asuhan keperawatan semakin besar. Perpindahan penduduk dan
pergeseran tuntutan keperawatan dapat terjadi. Perawat yang tidak mampu
menyesuaikan asuhan keperawatan terhadap kondisi yang ada akan menyebabkan
penurunan kualitas pada pelayanan keperawatan. Oleh karena itu, hal ini
menyebabkan dibutuhkannnya peningkatan
terhadap profesi keperawatan. Peningkatan pengetahuan, koordinasi antar profesi
atau tenaga kerja kesehatan lain sangat diperlukan. Perawat harus lebih aktif
dalam menghadapi globalisasi terutama dalam pelayanan kesehatan.
3.1.2
Konsep dan Prinsip dalam Asuhan Keperawatan Transkultural
Jika pemahaman
mengenai latar belakang etnik, budaya, dan agama yang berbeda antar klien baik,
maka akan dapat meningkatkan pemberian asuhan keeperawatan secara efektif.
Kozier (2004) menjelaskan beberapa konsep yang berhubungan dengan asuhan
keperawatan transkultural ini.
a)
Subkultur
Sebuah
subkultur biasanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai suatu identitas yang
berbeda. Namun masih dihubungkan dengan suatu
kelompok yang lebih besar.
b)
Enkultural
Enkultural
digunakan untuk mendeskripsikan orang yang menggabungkan (persilangan) dua
budaya, gaya hidup, dan nilai-nilai (Giger & Davidhizar, 1999).
c)
Keanekaragaman
Keanekaragaman
menunjuk pada fakta atau status yang menjadikan perbedaan. Diantaranya, ras,
jenis kelamin, orientasi seksual, etnik kebudayaan, status ekonomi-sosial,
tingkat pendidikan, dan lain-lain.
d) Akulturasi
Proses
akulturasi terjadi saat seseorang beradaptasi dengan ciri budaya lain. Anggota
dari sebuah kelompok budaya yang tidak dominan seringnya terpaksa belajar
kebudayaan baru untuk bertahan. Hal ini juga dapat didefinisikan sebagai
perubahan pola kebudayaan terhadap masyarakat dominannya (Spector, 2000).
e) Asimilasi
Asimilasi
merupakan proses seorang individu berkembang identitas kebudayaannya. Asimilasi
berarti menjadi seperti anggota dari kebudayaan yang dominan. Beberapa
aspeknya, seperti tingkah laku, kewarganegaraan, ciri perkawinan, dan
sebagainya. Di sini, seseorang atau kelompok kehilangan beberapa kebudayaan
aslinya untuk kemudian membentuk kebudayaan baru bersama dengan yang lain. Hal
ini ditujukan untuk membentuk interaksi yang baik.
Ada
beberapa faktor kebudayaan yang menjadi pertimbangan toleransi, diantaranya:
1.
Ras
Ras merupakan klasifikasi orang-orang yang dibagi
berdasarkan karakteristik biologis, tanda keturunan (genetik) dan corak. Orang
dengan ras yang sama, umumnya mempunyai banyak persamaan karakter. Namun,
penting untuk diketahui bahwa tidak semua orang dengan ras yang sama memiliki
kebudayaan yang sama pula.
2.
Prasangka
Prasangka
merupakan sebuah kepercayaan negatif atau kecenderungan yang menyamaratakan
pada satu kelompok dan hal tersebut akan menuntut pada dakwaan. Hal ini terjadi
karena orang yang berprasangka tidak mengetahui penuh budaya orang yang
diprasangkai atau orang tersebut membuat penyamarataan pandangan berdasarkan
pengalamannya dengan seorang individu dari kelompok tersebut terhadap semua
anggota kelompok itu.
3.
Stereotipe
Stereotipe
adalah menyamakan seluruh anggota dari sebuah kebudayaan atau kelompok etnik
bahwa mereka semua mirip/ sama. Stereotipe
mungkin berdasarkan penyamaan yang ditemukan pada penelitian atau mungkin tidak
berhubungan dengan kenyataan. Di sini, perawat harus tahu bahwa tidak semua
orang dari kelompok tertentu memiliki kepercayaan kesehatan yang sama, praktik
dan nilai yang sama pula.
4.
Diskriminasi
Diskriminasi merupakan pembedaan perlakuan individu atau
kelompok berdasarkan kategori, seperti ras, etnik, jenis kelamin, dan kelas
sosial. Terjadi jika seseorang bertindak merugikan atau menyangkal hak pokok
individu lain atau lebih.
5.
Culture Shock
Culture
shock adalah suatu guncangan atau ketidaknyamanan yang terjadi sebagai respons
atas pergantian/ perpindahan dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain. Ini terjadi jika seseorang pindah dari satu lokasi
geografi ke lokasi lain atau berimigrasi ke negara baru.
Salah satu cara untuk menganalisis keyakinan adalah
dengan menggunakan heritage consistensy.
Heritage consistensy dikembangkan oleh Estes dan Zitzaw (1980). Teori ini
menggambarkan tingkat gaya hidup yang mencerminkan konteks kultural (Potter
& Perry, 2009). Hal ini memungkinkan kita mengkaji keyakinan tentang
kesehatan dengan menentukan ikatannya dengan keyakinan tradisionalnya.
A.
Budaya
Budaya
menggambarkan sifat nonfisik, seperti keyakinan, sikap atau adat-istiadat suatu
masyarakat yang diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya. Budaya
merupakan kumpulan keyakinan, kebiasaan, praktik, kesukaan, norma,
adat-istiadat, ketidaksukaan dan ritual yang dipelajari dari keluarga selama
sosialiasasi bertahun-tahun (Potter & Perry, 2009). Di dalam budaya tidak
hanya terbatas pada komunikasi lisan, tetapi juga yang lain. Contoh, cara
membuat kontak mata, menyentuh tubuh, dan memegang tangan.
B.
Etnisitas
Etnisitas
adalah rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok kultur sosial umum
dan warisan budaya (Potter & Perry, 2009). Karakteristik dari suatu etnik
mencakup bahasa dan dialek, status perpindahan, suku bangsa, dan kepercayaan
serta praktek religius. Sehingga, etnisitas sangat kompleks, sukar dipahami dan
didefinisikan dengan kurang jelas.
C.
Religi
Religi
adalah keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau di luar kekuatan
manusia yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta dan pengatur alam
semesta ((Abramsom, 1980) dalam Fundamental Keperawatan). Nilai religi berfungsi untuk mengklarifikasi etnisitas
lebih jauh.
Klien berasal dari budaya yang berbeda. Di dalamnya
mencakup latar belakang etnis, keagamaan, dan budaya. Konsistensi warisan
budaya ini membantu cara pemahaman terhadap klien bagaimana mereka
menginterpretasikan kesehatan atau penyakit dengan cara modern atau
tradisional.
Selain
heritage consistensy, ada 6 fenomena
kultural yang diidentifikasi oleh Giger & Davidhizar (1995). Keenam
fenomena ini terdiri dari:
1.
Kontrol Lingkungan
Mengacu pada
kemampuan dari anggota kelompok kultural tertentu untuk merencanakan aktivitas
yang mengontrol sifat dan faktor keturunan langsung (Giger & Davidhizar,
1995). Di dalamnya mencakup keyakinan tradisional tentang kesehatan dan
penyakit, pengobatan tradisional dan penggunaan penyembuh tradisional.
Sehingga, fenomena ini berperan penting dalam cara klien berespons terhadap
pengalaman yang berhubungan dengan kesehatan.
2.
Variasi Biologis
Seseorang dari
satu kelompok kultural pasti mempunyai variasi biologis berbeda dengan kelompok
kultural lainnya. Beberapa contoh signifikan yang
dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:
-
Struktur dan bentuk
tubuh
-
Warna kulit
-
Variasi enzimatik dan genetik
-
Kerentanan terhadap
penyakit
-
Variasi nutrisi
3.
Organisasi Sosial
Lingkungan sosial tempat seseorang dibesarkan dan
bertempat tinggal berperan penting dalam perkembangan dan identitas kultural
mereka. Proses sosialisasi ini menjadi suatu bagian warisan yang diturunkan dan
mengacu pada unit keluarga dan organisasi kelompok sosial yang dapat
diidentifikasi oleh klien.
4.
Komunikasi
Perbedaan
bahasa antara perawat dengan klien menjadi hal terpenting dalam memberikan
asuhan keperawatan. Perbedaan ini akan berpengaruh pada setiap aspek dan
tahapan asuhan keperawatan. Ketidakberhasilan berkomunikasi secara efektif akan
membuat penundaan dalam diagnosis dan tindakan terhadap klien. Bahkan bisa
lebih dari itu. Perawat tidak seharusnya menganggap klien dapat memahami apa
yang sudah diucapkannya. Istilah-istilah medis harus dijelaskan dengan jelas
dan terang terutama klien yang mempunyai keterbatasan ketrampilan dalam bahasa
perawat.
5.
Ruang
Ruang personal
di sini mencakup perilaku individu dan sikap yang ditujukan pada ruang di
sekitar mereka. Teritorialitas merupakan suatu sikap yang ditujukan pada area
seseorang yang diklaim dan dipertahankan atau reaksi emosional ketika
orang-orang lain memasuki area tersebut. Keduanya ini dipengaruhi oleh budaya.
Perawat harus berusaha menghargai teritorial klien. Ruang personal ini banyak
berhubungan dengan aktivitas keperawatan dan perawat harus sensitif terhadap
respons klien berkenaan dengan ruang personal ini. Misalnya, saat memberikan
asuhan keperawatan yang mengharuskan perawat menyentuh tubuh klien.
6.
Orientasi Waktu
Orientasi
waktu berbeda antara kelompok satu dengan yang lain. Perawat yang mempunyai
sikap yang berhubungan dengan waktu mungkin menemukan kesulitan untuk memahami
dan merencanakan asuhan keperawatan terhadap klien yang mempunyai orientasi
waktu yang berbeda. Perbadaan orientasi waktu dapat menjadi hal penting dalam
perawatan kesehatan, seperti perencanaan jangka panjang dan penjelasan tentang
jadwal medikasi. Misalnya, penjelasan pentingnya keteraturan minum obat pada
penderita tekanan darah tinggi.
Dari banyak penjelasan di atas, asuhan keperawatan
transkultural memang sangatlah kompleks. Sebelum kita membuat perencanaan dan
tindakan perawatan, kita perlu mengetahui konsep, prinsip, fenomena, dan
faktor-faktor lain yang dapat dijadikan pertimbangan yang berhubungan dengan
budaya ini. Diharapkan, setelah kita mengetahuinya, kelak asuhan keperawatan
yang kita berikan terhadap klien akan efektif dan berlangsung dengan lancar.
3.1.3 Pengkajian dan Instrumennya dalam Asuhan
keperawatan Budaya
Penting bagi perawat untuk memahami bahwa
klien mempunyai wawasan pandangan dan interprestasi mengenai penyakit dan
kesehatan yang berbeda, berdasarkan keyakinan sosial-budaya dan agama klien
sehingga terjalin hubungan baik. Hubungan ini akan meningkatkan pemberian
asuhan keperawatan yang aman dan efektif secara budaya.
Karena terdapat rentang yang luas tentang keyakinan dan
praktik kesehatan yang berlatar belakang etnik, budaya, sosial dan agama dari
individu, keluarga atau komunitas. Klien dapat mengantisipasi saat mengalami
suatu penyakit dengan pendekatan modern ataupun pendekatan tradisional, dapat
juga menggunakan kedua pendekatan tersebut.
Hubungan dan komunikasi transkultular terjadi ketika
setiap individu berusaha untuk memahami sudut pandang orang lain melalui
budayanya. Setelah mencapai kultular, perawat harus mempertimbangkan
faktor-faktor budaya klien sepanjang proses keperawatan.
Heritage
Consistency adalah melihat akulturasi sebagai suatu kontinum. Dengan menggunakan teori ini, dikaji tingkat diamana masyarakat
menjadi bagian dari kultur dominan dan tradisional.
-
Budaya,
menggambarkan sifat non-fisik, seperti nilai, keyakinan, sikap atau adat
istiadat yang disepakati oleh kelompok masyarakat dan diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
-
Etnisitas,
rasa identitas diri yang berkaitan dengan kelompok sosial dan warisan budaya.
-
Religi,
keyakinan dalam suatu kekuatan sifat ketuhanan atau diluar kekuatan manusia
yang harus dipatuhi dan diibadatkan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta
(Abramsom, 1980).
Keyakinan Tradisional Tentang Kesehatan Penyakit
Keyakinan
kesehatan tradisional tentang penyebab dari suatu penyakit dapat sangat berbeda
dengan model epidemiologi orang barat sehingga penting untuk memahami
epidemiologi tradisional, atau penyebab penyakit di dalam sistem keyakinan. Dalam model epidemiologi orang barat, penyebab suatu
penyakit mungkin stress dan maladaptasi, virus, bakteri atau karsinogen. Pada
model epidemiologi tradisional, terdapat perbedaan yang sangat menonjol tentang
agens penyebab, termasuk kekosongan jiwa, mantra, mata setan dan guna-guna yang
dapat disebabkan oleh orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membuat orang
lain sakit. Orang yang percaya dengan kekuatan ini harus dihindari, termasuk
iri, benci atau cemburu.
Praktik Tradisional
Pengobatan rakyat terus ada, sejalan dengan tekanan yang
harus meningkat dari pengobatan modern yang telah diturunkan dari sekolah
kedokteran dan generasi sebelumnya. Praktik rakyat dahulu hanya memiliki bagian
yang telah diabaikan oleh sistem keyakinan perawatan kesehatan modern. Berikut
ini adalah keragaman dari pengobatan rakyat tradisional (Yoder, 1972).
1.
Pengobatan Rakyat Alamiah
Pengobatan
rakyat alamiah adalah salah satu penggunaan lingkungan alamiah dan menggunakan
herbal, tumbuhan, mineral dan substansi hewan untuk mencegah dan mengatasi
penyakit. Umumnya pengobatan
ini ditemukan pada ramuan tradisional tradisional dan obat-obatan rumah tangga.
Aspek umum dari penggunaan herbal adalah pengetahan bahwa segala yang terdapat
di alam merupakan sumber terapi. Secara umum, tradisi pengobatan rakyat yang
menggambarkan tahun dimana herbal itu dipetik; cara herbal itu dikeringkan; dan
metode; jumlah; dan frekuensi penggunaan.
2.
Pengobatan Rakyat Magisoreligius
Salah satu contoh dari pengobatan ini adalah bentuk
penyembuhan keagamaan tidak resmi. Dalam praktik ini lues, jimat, air suci dan
manipulasi fisik digunakan dalam upaya penyembuhan penyakit.
Penggunaan Benda
Pelindung
Jimat adalah benda dengan kekuatan magis. Jimat dikenal
dengan perlindungan yang dikenal oleh semua masyarakat di seluruh dunia dan
berkaitan dengan perlindungan terhadap masalah (Budge, 1978). Seseorang juga
ada yang menggunakan talisman atau benda keagamaan lainnya yang telah
disucikan. Tulisman diyakini memiliki kekuatan yang luar biasa dan dapat
dipakai dengan tali mengelilingi pinggang atau dibawa di dalam saku baju atau
tas. Orang yang mengenakan jimat atau tulisman harus diperbolehkan untuk
melakukannya di lembaga perawatan tempat ia dirawat.
Penggunaan
Makanan
Banyak orang percaya bahwa sistem tubuh terjaga
keseimbangannya dengan memakan tipe makanan tertentu, sehingga terdapat banyak
makanan dan kombinasi makanan yang dianggap tabu. Seperti contoh, dipercaya
bahwa beberapa bahan makanan dapat dimakan untuk mencegah penyakit. Orang dari
banyak latar belakang etnik memakan bawang putih atau memakainya ditubuh mereka
atau menggantungkannya di rumah untuk tujuan ini.
Praktik Religius
Pendekatan tradisional lain terhadap pencegahan penyakit
berpusat pada sekitar agama termasuk praktik nseperti membakar lilin, ritual
penebusan dan sembahyang. Banyak orang percaya bahwa penyakit dapat dicegah
dengan mengikuti secara ketat aturan, moral dan praktik serta memandang
penyakit sebagai hukuman terhadap pelecehan religius.
Ramuan
Tradisional
Ketika seseorang menggunakan obat-obatan yang berasal
dari warisan budaya etnokultular mereka,maka penggunaan obat-obatan ini disebut
pengobatan alternatif. Sifat farmasitis dari vegetasi tumbuhan, akar0akaran,
batang, bunga, biji dan herbal telah banyak diteliti, dicoba, dibuatkan katalog
dan digunakan di banyak Negara.
Penyembuh
(Dukun)
Dalam komunitas tertentu, orang tertentu dikenal
mempunyai kekuatan untuk menyembuhkan. Dukun dianggap mendapat anugerah dari
Tuhan. Banyak contoh seseorang dengan warisan budaya konsisten terlebih dahulu
berkinsultasi dengan dukun sebelum ia berhubungan dengan pemberi perawatan
kesehatan modern. Terdapat banyak perbedaan antara dokter Barat dengan dukun
tradisional (Kaptchuk & Croucher, 1987) Hubungan antara seseorang dengan
dukun sering lebih dekat dibandingkan dengan tenaga perawatan kesehatan
professional. Orang vmenganggap dukun sebagai seseorang yang mampu memahami
masalah dalam konteks kultural, berbicara dengan bahasa yang sama, dan memiliki
pandangan yang sama tentang dunia.
Faktor Kultural dan
Proses Keperawatan
1.
Pengkajian Komunitas
Perawat harus memberikan
perawatan yang sensitif dan kompeten secara kultular di komunitas.
2.
Diagnosa Keperawatan
Mengelompokkan data yang
relevan dan mengembangkan diagnose keperawatan aktual dan potensial yang
berhubungan dengan kebutuhan kultular dan etnik klien.
3.
Perencanaan
Perawat sekali lagi
mempertimbangkan variable kultular yang berkaitan klien yang melibatkan
keluarga besar dalam proses perawatan.
4.
Implementasi
Perawat mengetahui perawatan
seperti apa yang dianggap klien sesuai dengan mereka dan melibatkan keluarga
tentang harapan mereka.
5.
Evaluasi
Mengevaluasi hasil asuhan keperawatan dengan menentukan
sejauh mana tujuan dan hasil yang diharapkan dari perawatan telah terpenuhi.
3.2. Aplikasi transkultural pada beberapa masalah
kesehatan
3.2.1. Aplikasi
transkultural pada masalah penyakit kronik
Penyakit kronik
adalah penyakit yang timbul bukan secara tiba-tiba, melainkan akumulasi dari
sesuatu penyakit hingga akhirnya menyebabkan penyakit itu sendiri. (Kalbe
medical portal) Penyakit kronik ditandai banyak penyebab. Contoh penyakit
kronis adalah diabetes, penyakit jantung, asma, hipertensi dan masih banyak
lainnya. Ada hubungan antara penyakit kronis dengan depresi. Depresi adalah
kondisi kronis yang mempengaruhi pikiran seseorang, perasaan dan perilaku
sehingga sulit untuk mengatasi peristiwa kehidupan sehari-hari. (Andres Otero-Forero,
Queensland Transcultural Mental Health Centre).
Seseorang yang
menderita depresi memiliki kemungkinan lebih tinggi menderita penyakit kronis
seperti diabetes, penyakit jantung atau asma. Penyebab depresi itu sendiri
kompleks, terkait dengan lingkungan interaksi seseorang maupun kepribadiaannya
sendiri. Beberapa faktor penyebab umum adalah:
•
Faktor herediter
|
•
Trauma
|
•
Isolasi atau kesepian
|
•
Pengangguran
|
• konflik Keluarga
|
•
Kesulitan penyelesaian
|
•
Stres
|
•
Nyeri
|
Berbagai jenis
depresi memerlukan cara yang berbeda dalam jenis pengobatannya. Untuk depresi
ringan, dapat dianjurkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu. Dalam
kasus depresi parah, dianjurkan untuk mengkonsumsi obat dan psikoterapi. Salah
satu pendekatan yang muncul menjadi lebih umum untuk segala bentuk depresi
adalah manajemen diri. Manajemen diri mengacu pada strategi orang menggunakan
untuk berurusan dengan kondisi mereka. Dimana seseorang melibatkan tindakan,
sikap atau tujuan dalam mengambil atau membuat keputusan untuk mempertahankan
dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan.
Pengobatan terhadap
penyakit kronik yang telah dilakukan di masyarakat saat ini amat beragam. Tidak
dapat dipungkiri bahwa sistem pengobatan tradisional juga merupakan sub unsur
kebudayaan masyarakat sederhana yang telah dijadikan sebagai salah satu cara
pengobatan. Pengobatan inilah yang juga menjadi
aplikasi dari transkultural dalam mengobati suatu penyakit kronik. Pengobatan
tradisional ini dilakukan berdasarkan budaya yang telah diwariskan
turun-temurun. Beberapa
contohnya adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat
negeri Pangean lebih memilih menggunakan ramuan dukun untuk menyembuhkan
penyakit TBC, yaitu daun waru yang diremas dan airnya dimasak sebanyak setengah
gelas.
2. Masyarakat
di Papua percaya bahwa penyakit malaria dapat disembuhkan dengan cara minta
ampun kepada penguasa hutan lalu memetik daun untuk dibuat ramuan untuk diminum
dan dioleskan ke seluruh tubuh.
3. Masyarakat Jawa memakan pisang emas bersamaan dengan kutu kepala (Jawa: tuma)
tiga kali sehari untuk pengobatan penyakit kuning.
Pengobatan
tradisional yang sering dipakai berupa pemanfaatan bahan-bahan herbal. Herba
sambiloto menjadi sebuah contoh yang khasiatnya dipercaya oleh masyarakat dapat
mengobati penyakit-penyakit kronik, seperti hepatitis, radang paru (pneumonia),
radang saluran nafas (bronchitis), radang ginjal (pielonefritis), radang
telinga tengah (OMA), radang usus buntu, kencing nanah (gonore), kencing manis
(diabetes melitus). Daun lidah budaya dan tanaman pare juga dijadikan sebagai
pengobatan herbal. Tumbuhan tersebut berkhasiat menyebuhkan diabetes melitus.
Tidak hanya di Indonesia, di luar negeri pun masih ada negara yang meyakini
bahwa pengobatan medis bukan satu-satunya cara mengobati penyakit kronik.
Misalnya, di Afrika, penduduk Afrika masih memiliki keyakinan tradisional
tentang kesehatan dan penyakit. Mereka menganggap bahwa obat-obatan tradisional
sudah cukup untuk mengganti produk yag akan dibeli, bahkan mereka menggunakan
dukun sebagai penyembuh tradisional. Hal seperti ini juga terjadi di Amerika,
Eropa, dan Asia.
3.2.2
Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang actual atau potensial. Nyeri
adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawatan kesehatan.
Selanjutnya, definisi nyeri menurut keperawatan adalah apapun yang menyakitkan
tubuh yang dikatakan individu yang mengalaminya, yang ada kapanpun individu
mengatakannya. Peraturan utama dalam merawat pasien nyeri adalah bahwa semua
nyeri adalah nyata, meskipun penyebabnya belum diketahui. Keberadaan nyeri
adalah berdasarkan hanya pada laporan pasien bahwa nyeri itu ada.
Aplikasi transkultural pada gangguan nyeri baik yang
dilakukan oleh pasien berdasarkan apa yang dipercaya olehnya atau yang
dilakukan oleh perawat setelah melakukan pengkajian tentang latar belakang
budaya pasien adalah sebagai berikut:
1.
Dengan
membatasi gerak dan istirahat. Seorang pasien yang mengalami nyeri diharuskan
untuk tidak banyak bergerak karena jika banyak bergerak dapat memperparah dan
menyebabkan nyeri berlangsung lama. Menurut pandangan umat Islam, seseorang
yang menderita nyeri untuk mengurangi tau meredakannya dengan posisi istirahat
atau tidur yang benar yaitu badan lurus dan dimiringkan ke sebelah kanan. Hal
ini menurut sunah rasul. Dengan posisi tersebut diharapkan dapat meredakan
nyeri karena peredaran darah yang lancer akibat jantung yang tidak tertindih
badan sehingga dapat bekerja maksimal.
2.
Mengkonsumsi
obat-obatan tradisional. Beberapa orang mempercayai bahwa ada beberapa obat
tradisional yang dapat meredakan nyeri bahkan lebih manjur dari obat yang
diberikan oleh dokter. Misalnya, obat urut dan tulang ‘Dapol Siburuk’ dari
burung siburuk yang digunakan oleh masyarakat Batak.
3.
Dengan
dipijat atau semacamnya. Kebanyakan orang mempercayai dengan dipijat atau
semacamnya dapat meredakan nyeri dengan waktu yang singkat. Namun, harus
diperhatikan bahwa apabila salah memijat akan menyebabkan bertambah nyeri atau
hal-hal lain yang merugikan penderita. Dalam budaya Jawa ada yang disebut dukun
pijat yang sering didatangi orang banyak apabila mengalami keluhan nyeri
misalnya kaki terkilir.
Dalam menerapkan transkultural pada gangguan nyeri harus
tetap mempertahankan baik buruknya bagi si pasien. Semua aplikasi transkultural
sebaiknya dikonsultasikan kepada pihak medis agar tidak menimbulkan hal yang
tidak diinginkan.
3.2.3 Aplikasi transkultural pada gangguan kesehatan
mental
Berbagai
tingkahlaku luar biasa yang dianggap oleh psikiater barat sebagai penyakit jiwa
ditemukan secara luas pada berbagai masyarakat non-barat. Adanya variasi yang
luas dari kelompok sindroma dan nama-nama untuk menyebutkannya dalam berbagai
masyarakat dunia, Barat maupun non-Barat, telah mendorong para ilmuwan mengenai
tingkahlaku untuk menyatakan bahwa penyakit jiwa adalah suatu ‘mitos’, suatu
fenomena sosiologis, suatu hasil dari angota-anggota masyarakat yang ‘beres’
yang merasa bahwa mereka membutuhkan sarana untuk menjelaskan, memberi sanksi
dan mengendalikan tingkahlaku sesama mereka yang menyimpang atau yang
berbahaya, tingkahlaku yang kadang-kadang hanya berbeda dengan tingkahlaku
mereka sendiri. Penyakit jiwa tidak hanya merupakan ‘mitos’, juga bukan
semata-semata suatu masalah sosial belaka. Memang benar-benar ada gangguan
dalam pikiran, erasaan dan tingkahlaku yang membutuhkan pengaturan pengobatan.(Edgerton
1969 : 70). Nampaknya, sejumlah besar penyakit jiwa non-barat lebih dijelaskan
secara personalistik daripada naturalistik.
Sebagaimana halnya
dengan generalisasi, selalu ada hal-hal yang tidak dapat dimasukkan secara
tepat ke dalam skema besar tersebut. Kepercayaan yang tersebar luas bahwa
pengalaman-pengalaman emosional yang kuat seperti iri, takut, sedih, malu,
dapat mengakibatkan penyakit, tidaklah tepat untuk diletakkan di dalam salah
satu dari dua kategori besar tersebut. Mungkin dapat dikatakan bahwa tergantung
situasi dan kondisi, kepercayaan-kepercayaan tersebut boleh dikatakan cocok
untuk dikelompokkan ke dalam salah satu kategori. Misalnya, susto, penyakit
yang disebabkan oleh ketakutan, tersebar luas di Amerika Latin dan merupakan
angan-angan. Seseorang mungkin menjadi takut karena bertemu dengan hantu, roh,
setan, atau karena hal-hal yang sepele, seperti jatuh di air sehingga takut
akan mati tenggelam. Apabila agen-nya berniat jahat, etiologinya sudah tentu
bersifat personalistik. Namun, kejadian-kejadian tersebut sering merupakan
suatu kebetulan atau kecelakaan belaka bukan karena tindakan yang disengaja.
Dalam ketakutan akan kematian karena tenggelam, tidak terdapat agen-agen apa
pun.
Kepercayaan-kepercayaan
yang sudah dijelaskan di atas menimbulkan pemikiran-pemikiran untuk melakukan
berbagai pengobatan jika sudah terkena agen. Kebanyakan pengobatan yang
dilakukan yaitu mendatangi dukun-dukun atau tabib-tabib yang sudah dipercaya
penuh. Terlebih lagi untuk pengobatan gangguan mental, hampir seluruh
masyarakat desa mendatangi dukun-dukun karena mereka percaya bahwa masalah
gangguan jiwa/mental disebabkan oleh gangguan ruh jahat. Dukun-dukun biasanya
melakukan pengobatan dengan cara mengambil dedaunan yang dianggap sakral, lalu
menyapukannya ke seluruh tubuh pasien. Ada juga yang melakukan pengobatan
dengan cara menyuruh pihak keluarga pasien untuk membawa sesajen seperti,
berbagai macam bunga atau binatang ternak.
Para ahli
antropologi menaruh perhatian pada ciri-ciri psikologis shaman. Shaman adalah
seorang yang tidak stabil dan sering mengalami delusi, dan mungkin ia adalah
seorang wadam atau homoseksual.namun apabila ketidakstabilan jiwanya secara
budaya diarahkan pada bentuk-bentuk konstruktif, maka individu tersebut
dibedakan dari orang-orang lain yang mungkin menunjukkan tingkahlaku serupa,
namun digolongkan sebagai abnormal oleh para warga masyarakatnya dan merupakan
subyek dari upacara-upacara penyembuhan. Dalam pengobatan, shaman biasanya
berada dalam keadaan kesurupan (tidak sadar), dimana mereka berhubungan dengan
roh pembinanya untuk mendiagnosis penyakit. para penganut paham kebudayaan
relativisme yang ekstrim menggunakan contoh shamanisme sebagai hambatan utama
dalam arguentasi mereka bahwa apa yang disebut penyakit jiwa adalah sesuatu
yang bersifat kebudayaan.
Dalam banyak
masyarakat non-Barat, orang yang menunjukkan tingkahlaku abnormal tetapi tidak
bersifat galak maka sering diberi kebebasan gerak dalam masyarakat mereka,
kebutuhan mereka dipenuhi oleh anggota keluarga mereka. Namun, jika mereka
mengganggu, mereka akan dibawa ke sutu temapt di semak-semak untuk ikuci di
kamrnya. Sebuah pintu khusus (2 x 2 kaki) dibuat dalam rumah, cukup untuk
meyodorkan makanan saja bagi mereka dan sebuah pintu keluar untuk keluar masuk
komunitinya.
Usaha-usaha untuk
membandingkan tipe-tipe gangguan jiwa secara lintas-budaya umumnya tidak
berhasil, sebagian disebabkan oleh kesulitan-kesulitan pada tahapan penelitian
untuk membongkar apa yang diperkirakan sebagai gejala primer dari gejala
sekunder. Misalnya, gejala-gejala primer yaitu yang menjadi dasar bagi depresi.
Muncul lebih dulu dan merupakan inti dari gangguan. Gejala-gejala sekunder
dilihat sebagai reaksi individu terhadap penyakitya ; gejala-gejala tersebut
berkembang karena ia berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tingkahlakunya
yang berubah (Murphy, Wittkower, dan Chance 1970 : 476).
3.3. Kasus Kesehatan
3.3.1 Defini Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus adalah bertambahnya jumlah gula darah di dalam tubuh seseorang karena
insulin yang dihasilkan oleh pankreas tidak cukup untuk menyeimbangkan kadar
gula yang masuk. Faktor pemicu tingginya penyakit ini karena pola makan yang
tidak sehat, kurang aktivitas gerak, merokok, serta gaya hidup. Penyakit ini
biasanya diderita oleh orang Jawa karena kebiasaan orang Jawa yang menyukai
masakan atau minuman yang manis.
Menurut WHO (1985), kadar gukosa normal dalam
darah kapiler pada waktu puasa tidak melebihi 120 mg/dl dan 2 jam sesudah makan
kurang dari 200 mg/dl.
Batasan
kadar glukosa darah dalam mg/dl.
Golongan Klinik
|
Kadar Glukosa Darah
|
||
Darah Vena
|
Darah Kapiler
|
Plasma Vena
|
|
Diabetes
Mellitus
|
|
|
|
a.
Puasa
|
≥120
|
≥120
|
≥140
|
b.
2 jam setelah makan
|
≥180
|
≥200
|
≥200
|
Toleransi
gula terganggu
|
|
|
|
a.
Puasa
|
<120
|
<120
|
<140
|
b.
2 jam setelah makan
|
>120 - ≤180
|
>120 - ≤200
|
>140 - ≤200
|
Sumber:
WHO (1980)
3.3.2 Karakteristik,
Gejala dan Tanda Diabetes
Ada beberapa tanda dan gejala diabetes melitus
yang dapat kita kenali sebagai gejala umum yang terjadi pada pengidap diabetes.
Meskipun demikian, tidak semua tanda dan gejala akan dialami oleh penderita
diabetes. Tanda dan gejala diabetes adalah sebagai berikut.
1.
Jumlah urin yang dikeluarkan lebih banyak (Polyuria).
2.
Sering atau cepat haus (Polydipsia).
3.
Lapar yang berlebihan atau makan banyak (Polyphagia).
4.
Urin mengandung kadar gula yang tinggi (Glycosuria).
5.
Penurunan berat badan secara mendadak.
6.
Rasa kebas pada ujung saraf di telapak tangan dan kaki.
7.
Cepat lelah dan lemas.
8.
Mengalami rabun penglihatan.
9.
Luka lambat sembuh.
10.
Mudah terjangkit penyakit, terutama di kulit.
Karakteristik
dibetes merupakan ciri-ciri yang dapat menggambarkan kondisi fisik penderita
diabetes melitus. Pemeriksaan dapat dilakukan pada orang-orang yang berisiko
terkena DM, seperti usia >45 tahun, BBR >120% dengan IMT 23 kg/m2,
penderita hipertensi (140/90 mmHg), mempunyai riwayat abortus berulang-ulang,
melahirkan bayi cacat atau berat badan bayi lahir >4000 gr, kolesterol HDL
<35 mg/dl, atau kadar trigliserida >250 mg/dl (PERKENI, 2002).
Djokomoeljanto
(2002) menjelaskan bahwa diabetes melitus dapat teradi pada usia lebih dari 40
tahun, obesitas atau kegemukan, hipertensi, adanya hislipdemia atau gangguaun
pada lemak, terdapat luka, penyakit cardiovaskuler, atau TBC positif yang sulit
sembuh.
Diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh
meningkatnya kadar glukosa dalam darah sebagai akibat adanya defek sekresi
insulin dan atau adanya resistensi insulin. Apabila penyakit ini dibiarkan
tidak tekendali, maka akan menimbulkan komplikasi yang dapat berakibat fatal,
termasuk penyakit jantung, ginjal, kebutaan, dan amputasi.
Terjadinya
defek sekresi insulin (insulin kurang) maupun adanya gangguan kerja insulin
(resistensi insulin) mengakibatkan glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel
otot dan jaringan lemak. Akibatnya, untuk memperoleh sumber energi untuk
kelangsungan hidup dan menjalankan tugasnya, otot dan jaringan lemak akan
memecah cadangan energi yang terdapat dalam dirinya sendiri melalui proses
glikogenesis dan lipolisis. Proses glikogenesis dan lipolisis yang berlangsung
terus menerus pada akhirnya menyebabkan massa otot dan jaringa lemak akan
berkurangsehingga terjadilah penurunan berat badan.
3.3.3 Tipe Diabetes Mellitus
Diabetes
mellitus dibedakan menjadi dua tipe, yaitu diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2.
Penderita DM tipe 1 adalah jika tubuh sepenuhnya tidak dapat memproduksi hormon
insulin sedangkan penderita DM tipe 2 adalah jika tubuhnya masih dapat
memproduksi insulin, namun insulin yang dihasilkan tidak cukup atau karena
kurangnya sensitivitas jaringan tubuh terhadap insulin. Hanya 5-10% dari
penderita DM tipe 1 dan sisanya adalah penderita DM tipe 2.
3.3.4 Mekanisme dan Komplikasi
Jangka Panjang Diabetes
Diabetes
melitus secara umum terjadi karena adanya proses patogenesis. Ini bersamaan
dengan rusaknya autoimun pada sel beta di pankreas yang menyebabkan
berkurangnya produksi insulin hingga menjadi abnormal yang menghasilkan
resistensi terhadap kerja insulin. Dasar dari ketidaknormalan metabolisme
karbohidrat, lemak dan protein pada penderita diabetes merupakan akibat dari
berkurangnya kerja insulin pada jaringan. Berkurangnya hasil kerja insulin
adalah dari tidak cukupnya sekresi insulin dan atau kurangnya respon jaringan
terhadap insulin dalam jalur kompleks kerja hormon. Penurunan sekresi insulin
dan resistensi kerja insulin sering terjadi pada pasien yang sama, dan itu
menjadi tidak jelas apa kelainannya, jika hanya salah satu saja, penyebabnya
adalah hiperglikemia.
Gejala
hiperglikemia meliputi poluiria, polidipsia, penurunan berat badan, kadang
dengan polipagia, dan penglihatan kabur. Melambatnya pertumbuhan dan kerentanan
terhadap infeksi tertentu juga dapat menyertai penderita hiperglikemia kronik.
Bahayanya, ancaman hidup dari akibat diabetes adalah hiperglikemia dengan
ketoasidosis atau sindrom hiperosmolar nonketotik.
Komplikasi
jangka panjang dari diabetes meliputi retinopati dengan potensi hilangnya
penglihatan; nefropati yang menyebabkan gagal ginjal; neuropati perifer dengan
risiko ulkus kaki, amputasi, dan sendi Charcot, dan neuropati otonom yang
menyebabkan gejala gastrointestinal, Genitourinari, kardiovaskuler dan
disfungsi seksual. Glikasi protein jaringan dan makromolekul lainnya serta
kelebihan produksi senyawa poliol dari glukosa adalah salah satu mekanisme
berpikir untuk menghasilkan kerusakan jaringan dari hiperglikemia kronis.
Pasien dengan diabetes memiliki peningkatan komplikasi atherosklerosis,
pembuluh darah perifer, dan penyakit serebrovaskular. Hipertensi, kelainan
metabolisme lipoprotein, dan penyakit periodontal sering ditemukan pada
penderita diabetes. Dampak emosional dan sosial diabetes dan tuntutan terapi
dapat menyebabkan disfungsi psikososial yang signifikan pada pasien dan
keluarganya.
3.3.5 Pola
Makan dan Gaya Hidup untuk Penderita Diabetes
Pola
makan pada penderita diabetes harus benar-benar diperhatikan. Baik jadwal,
jumlah, maupun jenis makanan yang dikonsumsi. Kebutuhan makanan bagi penderita
penyakit diabetes tidak hanya sekedar mengisi lambung. Tetapi, makanan tersebut
harus mampu menjaga kadar gula darah penderita diabetes itu sendiri. Mengingat,
penderita diabetes biasanya memiliki kecenderungan kandungan gula darah yang
tidak terkontrol. Kadar gula darah akan meningkat drastis setelah mengkonsumsi
jenis makanan tertentu. Oleh sebab itu, pola makan dan jenis makanan penyakit
diabetes ini harus diatur sedemikian rupa.
A. Jadwal Makan
Jadwal
makan yang dianjurkan bagi penderita diabetes adalah enam kali makan dalam
sehari. Dengan ketentuan tiga kali makan besar dan tiga kali makan ringan. Hal
tersebut dimaksudkan agar lambung tidak kosong dan asupan gula dalam tubuh
tetap stabil, tidak melonjak drastis dan juga tidak turun sangat rendah.
Berikut ini adalah contoh pengaturan jadwal makan penderita penyakit diabetes :
1. Makan besar I (Sarapan pagi) : pukul 07.00
2.
Makan ringan I (Snack) : pukul 10.00
3.
Makan besar II (Makan siang) : pukul 13.00
4.
Makan ringan II (Snack) : pukul 16.00
5.
Makan besar III (Makan malam) : pukul 19.00
6. Makan ringan III (Snack) : pukul 22.00
Jadwal
makan ini harus benar-benar dipatuhi oleh penderita diabetes. Usahakan makan
tepat waktu. Mengingat jika terjadi keterlambatan atau makan tidak teratur maka
dikhawatirkan terjadi hipoglikemia (penurunan kadar gula
darah). Gejala hipoglikemiaini ditandai oleh timbulnya pusing, mual
dan pingsan pada penderita diabetes. Jika gejala ini terjadi maka sebaiknya
penderita diberi minum air gula untuk mengembalikan keseimbangan gula dalam
darah.
B.
Porsi Makanan
Prinsip yang harus dipegang
dalam mengatur porsi makanan adalah porsi makanan yang dikonsumsi tidak perlu
banyak, namun harus sering. Oleh sebab itu, jadwal makan diatur sedemikian rupa
hingga enam kali dalam sehari. Berikut ini adalah anjuran porsi makanan yang
harus diberikan pada penderita diabetes :
1.
Makan pagi : 20% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
2.
Makan ringan I : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
3.
Makan siang : 25% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
4.
Makan ringan II : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
5.
Makan malam : 25% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
6.
Makan ringan III : 10% dari total kebutuhan kalori dalam satu hari
C.
Jenis makanan
Beberapa contoh makanan yang sebaiknya
dihindari oleh penderita diabetes dan yang memicu menaikkan kadar gula darah,
yaitu mie, pasta, nasi, kafein,
kentang, roti putih, the
manis, dan makanan yang digoreng. Sedangkan jenis makanan yang
dianjurkan bagi penderita diabetes bersuku jawa yang menyukai makanan manis,
seperti minyak zaitun, apel, jeruk bali, kentang,
stroberi, tomat, alpukat, wortel, dan susu.
Gaya hidup yang sehat dapat dicapai dengan
mengatur:
·
Berat badan yang seimbang
·
Manajemen stress
·
Cukup tidur
·
Hindari rokok
·
Hindari minuman beralkohol
·
Hindari narkoba
·
Olahraga yang teratur
·
Melakukan medical check up secara teratur
·
Berkonsultasi dengan dokter apabila mengalami gangguan kesehatan.
Menurut
Leininger (2002), keperawatan transkultural sebagai penelitian perbandingan
budaya untuk memahami persamaan (budaya universal) dan perbedaan
(budaya-tertentu) di antara kelompok manusia. Tujuannya untuk membentuk pelayanan yang
sesuai dengan pola nilai kehidupan individu dan arti yang sebenarnya. Sehingga
apabila perawat menemukan berbagai pasien dengan budaya yang berbeda-beda,
perawat tahu dengan pendekatan apa dan bagaimana yang akan ia gunakan.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1.
Keperawatan transkultural merupakan suatu tindakan pelayanan kesehatan
yang berfokus kepada analisis dan perbandingan tentang perbedaan budaya.
2.
Perawat diharapkan dapat memiliki kemampuan dalam memahami pasien lebih mendalam sehingga dalam memberikan
kesimpulan interpretasi selama penilaian dapat berjalan dengan tepat dan sesuai
dengan landasan teori dan praktik keperawatan.
4.2 Saran
Walaupun dalam kenyataanya mungkin konsep keperawatan transkultural
efektif digunakan pada klien, namun pengkajian lebih lanjut juga sangat
diperlukan untuk mencapai hasil yang maksimal dalam proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Clinical Practice Guidelines Management of Type 2
Diabetes Melitus 4th ed. (2009).
Ministry of Health Malaysia. MOH/P/PAK/184.09(GU)
Dorland’s
medical dictionary. 29th ed. Jakarta: EGC; 2006. Diabetes mellitus; 602-3
Kozier, B., Erb,
G.,Berman,A.J., & Snyder. (2004).Fundamentals of Nursing: Concepts,
Process, and Practice. 7th Ed. New Jersey: Pearson Education, Inc.
National Diabates Institute. Signs and Symptoms of Diabetes.
Diakses dari: www.nadidiabetes.com.my
30 Desember 2014 pukul 19:15
Potter, P.A. &
Perry,A.G.(2009). Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice.7th
Ed. St. Louis, MI: Elsevier Mosby.
Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat
Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Diabetes melitus dapat dicegah. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1314-diabetes-melitus-dapat-dicegah.html,
15 November 2010
R., Nicki, R., Brian, dan H.,
Stuart. (2010). Davidson’s Principle and Practice of Medicine (21st ed.) Churchill
Livingstone.
Tim
Redaksi VitaHealth. Diabetes. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005; 3:
39-60
transkulturalnursing.pdf oleh Efy Afifah, S.Kp., M.
Kes diakses dari staff.ui.ac.id
Komentar
Posting Komentar